SEMBOYAN BHINNEKA
TUNGGAL IKA
MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
Yang
dibina oleh Drs. H. Jojo Juhaeni, MM
OLEH
:
TAUFIQ
ANSHARI RASAK
NPP.
23.1549
KELAS
G.15
POLITIK
PEMERINTAHAN
INSTITUT
PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
T.A
2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas
kehadirat Allah karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Makalah ini disusun dan dibuat
berdasarkan materi-materi yang sudah ada. Materi-materi bertujuan agar menambah
pengetahuan dan wawasan pembaca dalam memahami konsep tentang Bhinneka Tunggal
Ika. Selain itu, dengan mempelajari makalah ini, pembaca juga dapat meningkatkan
perannya sebagai warga negara yang baik dan memiliki rasa persatuan dan
kesatuan yang tinggi untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik kedepannya.
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan,akan tetapi dengan bantuan dari
beberapa pihak, tantangan itu dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan demi
kesemprnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Jatinangor,
17 Februari 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL...............................................................................
1
KATA
PENGANTAR............................................................................ 2
DAFTAR ISI........................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN....................................................................... 4
Latar
Belakang............................................................................ 4
Rumusan
Masalah...................................................................... 4
Tujuan........................................................................................ 5
BAB II
PEMBAHASAN....................................................................... 5
Sejarah
Terbentuknya Semboyan Bhinneka Tunggal Ika....... 5
Pengertian
Bhinneka Tunggal Ika............................................. 8
Fungsi
Bhinneka Tunggal Ika................................................... 9
Prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika........... 11
Implementasi
Bhinneka Tunggal Ika......................................... 13
BAB III
PENUTUP............................................................................... 23
Kesimpulan................................................................................ 23
Saran........................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 25
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Bangsa Indonesia terbentuk melalui
suatu proses sejarah yang cukup panjang sejak
dulu, mulai zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai datangnya
bangsa-bangsa lain untuk menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun
Indonesia berjuang untuk mencari jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka
dan mandiri.
Setelah melalui proses yang sangat
panjang untuk mencari jati dirinya, bangsa Indonesia yang didalamnya tersimpul
ciri khas, sifat, dan karakter bangsa, yang berbeda dengan bangsa lain, yang
oleh para pendiri bangsanya merumuskan dalam suatu rumusan yang sederhana namun
mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila) yang kemudian disepakati
bersama diberi nama Pancasila.
Dalam hidup berbangsa dan bernegara
dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia sebagai bangsa harus
memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak terombang-ambing di
tengah masyarakat Internasional. Dengan kata lain, bangsa Indonesia harus
memilki rasa nasionalisme kebangsaan yang kokoh, demi tercapainya ketahanan
negara dari pihak luar. Selain hal tersebut, bangsa Indonesia harus tetap
mewaspadai ketahanan negeranya dari pihak dalam, agar tidak terpecah-belah
dalam menjaga jati dirinya sebagai suatu bangsa yang memiliki aset berharga
dalam keberagaman budaya, dalam kata lain harus menciptakan dan memperkuat rasa
persatuan dan kesatuan yang utuh.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Sejarah
terbentuknya semboyan Bhinneka Tunggal Ika
2. Pengertian
Bhinneka Tunggal Ika
3. Fungsi
Bhinneka Tunggal Ika
4. Prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
5. Implementasi
Bhinneka Tunggal Ika
C.
TUJUAN
Dengan membaca makalah ini, penulis dan pembaca pada khususnya dapat memahami,
mengkhayati, dan mengamalkan makna-makna, kedudukan dan fungsi dari Somboyan
Bhinneka Tunggal Ika dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Saling
hormat-menghormati warga Indonesia tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan
budaya agar tercipta persatuan bangsa Indonesia. Perilaku kita pun akan terarah
sesuai norma-norma dan tertib hukum yang terkandung pada nilai-nilai
Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
TERBENTUKNYA SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
Mpu
Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang pujangga
ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja Râjasanagara. Ia masih saudara
sang raja yaitu keponakannya (bhrâtrâtmaja dalam bahasa Kawi atau bahasa
Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.
Nama “Tantular” terdiri dari dua kata : tan (“tidak”) dan tular (“tular” atau
“terpengaruhi”). Artinya ia orangnya ialah “teguh”. Sedangkan kata mpu
merupakan gelar dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.
Tantular
adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka terhadap agama
lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin atau
syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin Sutasoma.
Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil menjadi motto atau
semboyan Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika” atau berbeda-beda namun
satu jua
Kutipan ini berasal dari pupuh
139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka
dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki
rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka
ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah
belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Bhineka
Tunggal Ika dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah
dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak
tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada
dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha.
Juga putra mahkota Kertanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA =
Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra.
Inilah
fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan
kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder)
tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara =
raja Singhasari terakhir).
Perumusan
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya
pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan
keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu.
Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa
kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat
persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat
menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.
Dalam
Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih
ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan
kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.
Dalam
lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas
dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan
juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan
(antara nusa) dalam kesatuan nusaantara raya.
Sesuai
makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal -
ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara
keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Frase
Bhinneka Tunggal Ika telah sama-sama diakui dan dirasakan mempunyai
"kekuatan" untuk menyatukan, mengutuhkan dan meneguhkan bangsa
Indonesia yang majemuk atau disebut sebagai salah satu sarana pengintegrasi
bangsa Indonesia atau sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
Berhasilnya
pemimpin bangsa kita untuk menggali dan menetapkan sebagai semboyan di dalam
bagian lambang negara adalah karya besar yang tak ternilai, tetapi ada
pertanyaan yang perlu diajukan, siapakah yang menempatkan semboyan tersebut
pada bagian lambang negara dan apa latar belakang pemikirannya?
Merujuk
kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979,
disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno,
setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul
Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11
Februari 1950.
Istilah
"ciptaan Bung Karno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di atas menurut
hemat penulis kurang tepat, karena dengan pernyataan itu memberikan pengertian,
bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno. Pernyataan ini
juga akan bertentangan dengan pidato Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22
Juli 1958 di Istana Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis
seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina ika tunggal ika –
berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan
isi pidato Presiden Soekarno di atas, semboyan itu adalah buatan Empu Tantular.
Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang
dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa
semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf
yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang
kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama
itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan agama, keyakinan dan
tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa latin: e pluribus unum.
B.
PENGERTIAN
BHINNEKA TUNGGAL IKA
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangasa Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan
seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam"
atau berbeda-beda. Kata “nek”a
dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti
"itu".
Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu
Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa
Indonesia tetap adalah satu kesatuan.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya,
bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan
C.
FUNGSI BHINNEKA TUNGGAL IKA
Semboyan Bhinneka tunggal ika mempunyai fungsi yang
sangat penting bagi bangsa Indonesia, fungsi-fungsinya yaitu :
1.
Mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari
bermacam-macam suku, ras dan agama.
Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia dengan penduduk terbanyak keempat saat ini. Dengan
wilayah yang sangat luas dan penduduk yang banyak, keberagaman penduduk sudah
dapat dipastikan ada sejak sebelum masa kolonial hingga sekarang. Lebih dari 13
000 pulau yang dimiliki Indonesia, dan semua pulau tersebut mempunyai
keberagaman dan ciri khas masing-masing yang membuat Indonesia sangat kaya dengan
keanekaragaman budaya dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia yang
bersifat plural, tak hanya dari segi budaya, tetapi Indonesia juga memiliki
berbagai variasi ras, suku, bahasa, dan agama yang tersebar di seluruh pelosok
Bumi Pertiwi.
Dari keberagaman hal yang
dimilki Indonesia, diperlukan suatu fungsi yang sangat penting dari semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang mempersatukan bangsa indonesia yang terdiri atas
beragam suku, ras, dan agama.
2. Menghambat semua konflik yang didasari
atas kepentingan pribadi atau kelompok
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu atau kelompok
dalam suatu interaksi.perbedaan-perbedaan
tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan
tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Bangsa indonesia merupakan
suatu bangsa yang besar, yang di dalamnya terdiri atas kelompok atau golongan,
kelompok-kelompok ini mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda.
Kadang kala dalam suatu perbedaan antar kelompok dapat menimbulkan konflik. Konflik
inilah yang akan menyebabkan terpecahnya kesatuan dari bangsa Indonesia,
sehingga apabila hal ini terjadi, diperlukan peran yang sangat penting dari
pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, apabila terjadi suatu perbedaan
pendapat yang dapat menimbulkan terpecahnya konflik antar golongan.
3. Mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia
Di masa sekarang yaitu masa
reformasi, banyak tekanan dan pengaruh dari pihak luar maupun dalam yang dapat
mengganggu kesatuan bangsa Indonesia. Agar kesatuannya tidak dapat terganggu,
bangsa Indonesia harus meningkatkan peran dan fungsi dari pancasila sebagai
alat pemersatu bangsa agar tidak terjadi suatu perpecahan dalam bangsanya.
4. Membantu mewujudkan cita-cita luhur bangsa
Indonesia
Dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan dengan gamblang tentang cita-cita
luhur dibentuknya negara Republik Indonesia yang berdaulat. Cita-cita luhur
yang diamanatkan oleh UUD 1945 ada empat poin, di antaranya, melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945 merupakan penuangan jiwa proklamasi yaitu jiwa Pancasila, sehingga
Pancasila merupakan cita-cita dan tujuan bangsa indonesia. Cita-cita luhur
inilah yang akan disapai oleh Bangsa Indonesia.
5. Mewujudkan Masyarakat madani
Bhinneka Tunggal Ika membantu
mewujudkan bangsa Indonesia menuju terciptanya masyarakat madani.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung
tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi
yang beradab, iman dan ilmu.
6. Mewujudkan Perdamaian Indonesia
Bhinneka tunggal ika mempunyai
fungsi sebagai frasa pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari keberagaman
penduduk, sehingga apabila peran itu berfunsi secara baik, maka akan tercipta
suatu kedamaian hidup berbangsa dan bernegara oleh penduduk Indonesia.
D. PRINSIP-PRINSIP YANG TERKANDUNG DALAM
BHINNEKA TUNGGAL IKA
Untuk dapat
mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak
terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat
pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini
terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka
Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui
seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common
denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki
kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan,
untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham
Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme,
bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari
unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat
sektarian dan eksklusif, hal
ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan
merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan
martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu
terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan
pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat.
Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup
berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya
menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling
percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan
rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang
bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan
bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non
sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka
Tunggal Ika mendukung nilai: (1) inklusif, tidak bersifat eksklusif, (2)
terbuka, (3) ko-eksistensi damai dan kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak
merasa yang paling benar, (6) tolerans, (7) musyawarah disertai dengan penghargaan
terhadap pihak lain yang berbeda. Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif
sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi
arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi
keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi
berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi
serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik
secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang
paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada
pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah
harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan
tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan
perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya
perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur
bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus
dari putra daerah , menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata
untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan.
Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang
damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan
terwujud.
E. IMPLEMENTASI BHINNEKA TUNGGAL IKA
Berdasarkan prinsip-prinsip
Bhinneka Tunggal Ika di atas,
maka prinsip-prinsip tersebut perlu untuk diimplementasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Perilaku inklusif.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam
Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang
menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu
sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan
sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan
penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2. Mengakomodasi sifat pluralistic
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk
oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa
dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang
terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami
makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman
secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling
hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat
dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi
lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan
sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola
kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat
yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan
bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun,
bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka
tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan
masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
3. Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya
sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu
diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi
pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam.
Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan
dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya
konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
4.
Musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan
“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus
dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan
yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan
proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang
timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang
kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
5.
Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang
jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki
harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila
pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi,
sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia
adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa
pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan,
sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak
mungkin terwujud.
Selain dari lima implementasi
di atas yang telah dikaitkan dengan prinsip-prinsip Bhinneka tunggal Ika,
terdapat juga beberapa implementasi yang lain, seperti :
a.
Implementasi
dalam relasi antar suku bangsa
Dalam risalah sidang kedua Dokuritu Zyunbbi Tyosakai (Badan
Persiapan Usaha Kemerdekaan), yang berlangsung 10-17 Juni 1945, muncul juga
tema menarik yaitu soal wilayah Indonesia. Dalam kaitannya dengan tema
“Bhinneka Tunggal Ika” dan masalah etnisitas atau kemajemukan suku-suku bangsa,
Bung Hatta mempertanyakan apakah Papua termasuk wilayah Indonesia. Karena
secara etnologis, Papua termasuk rumpun Melanesia, berbeda dengan rumpun
penduduk Indonesia lainnya yang termasuk rumpun Polenisia. Menurut Hatta, yang
lebih rasional dan sesuai dengan hukum internasional, yang menjadi wilayah
Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Diingatkan Hatta, jangan sampai dengan
konsep “tumpah darah” (Jerman: kultur und boden) menjadi nafsu
imperlialis seperti Jerman. Tetapi Hatta juga manyadari, bahwa seperti
pen-duduk Indonesia di wilayah Barat dan Tengah adalah asimilasi dari
orang-orang Melanesia dengan bangsa-bangsa Arab, Cina, India, begitu juga bisa
jadi hasil percampuran antara penduduk Melanisia dengan Polenisia lalu menjadi
Papua, menjadi dasar dimasukkannya Papua menjadi wilayah Indonesia.
Sebelumnya Yamin menekankan, bahwa wilayah kita jangan hanya menjadi enclaves
daripada “seluruh tanah Indonesia atas beberapa kekuasaan imperialisme
350-400 tahun yang belakangan ini”. Menurut Yamin, perkataan “Indonesia”
sendiri dibuat dengan pemahaman yang mengatakan Indonesia melingkupi daerah
Malaya dan Polinesia. Jadi, dengan sendirinya pada waktu perkataan Indonesia
lahir, dimaksudkan tanah Papua masuk ke dalam daerah Indonesia. Menurut paham
Geopolitik, pulau Papua adalah lompatan yang paling akhir dari benua Indonesia
menuju lautan Pasifik, dan lompatan yang pertama dari lautan pasifik menuju
tanah air kita. Apalagi menurut faham Indonesia, sebagian besar pulau Papua
adalah masuk hak adat lingkungan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan
sendirinya betul-betul daerah itu masuk bagian daerah Indonesia. Akhirnya Yamin
juga menandaskan bahwa wilayah Indonesia adalah “Kepulauan De-lapan”: Sumatra,
Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan Papua
(masing-masing dengan kepulauan-kepulauan kecil di sekeliling Kepulauan
Delapan tersebut. Yamin menyebut bahwa sebenarnya itu bukan keinginannya,
tetapi sejak beribu-ribu tahun tumpah darah Indonesia itu terbentuk, yang
disebutnya “Testamen Gajahmada”.
Menariknya, berbeda dengan Hatta yang masih agak ragu-ragu memasukkan
Papua, Bung Karno sepakat 100% dengan Yamin, dan memperkuat argumentasi Yamin
bahwa wilayah kita bukan warisan Belanda, sebaliknya “….bersandar kepada
kekuatan sejarah kita dulu, bersandar pada batas sejarah kita yang dulu.
Bukalah, tuan-tuan. Negarakertagama yang ditulis Prapanca, maka
tuan-tuan akan membaca di dalamnya beberapa nama tempat dan daerah yang
menun-jukkan, bahwa kerajaan Majapahit pun daerahnya melebar sampai kepada
Papua”. Bung Karno percaya, kalau kita melihat peta dunia maka kita akan
melihat bahwa Tuhan Allah SWT telah menentukan beberapa daerah sebagai suatu
kesatuan. Allah telah menentukan kepulauan Inggris sebagai satu kesatuan, atau
menentukan kepulauan Hellenia (Yunani) sebagai satu kesatuan, demikian juga
Allah telah menentukan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan. Oleh karena
itu, pentingnya faktor wilayah ini ditekankan Bung Karno dalam pidatonya
tanggal 1 Juni 1945, untuk melengkapi definisi Ernest Renan dan Otto Bauer.
Renan mensyaratkan bangsa hanyalah “kehendak akan bersatu” (le desir d’etre
ensemble), sedangkan Bauer mendefinisikan: “Bangsa adalah satu perasaan
perangai yang timbul karena persatuan nasib” (Eine nations ist aus
Schiksals gemenischafft erwachsene charakter gemenischaft).“Orang dan
tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada
di bawah kakinya”, demikian tegas Bung Karno.
Apa yang diwacanakan oleh para “Founding Fathers” di atas bukan sekedar
apologetika atau bentuk pembelaan diri mengenai hak bangsa Indonesia untuk
menempati tumpah darah Indonesia, tetapi sadar atau tidak juga merupakan bagian
dari upaya pencarian mereka atas rujukan historis bagaimana kita harus memaknai
warisan kemajemukan kita, khususnya dalam hal suku-suku bangsa. Tetapi para
pendiri bangsa itu tidak berlebihan. Indonesia ternyata tidak hanya mempunyai
bukti-bukti prasasti dan bergudang manuskrip kuno yang membuktikan bahwa
sebelum mereka hendak mendirikan NKRI, rakyat yang mendiami ratusan pulau besar
dan kecil dari Sabang sampai Merauke itu, memang pernah disatukan dalam satu
wadah Negara. Itulah yang dimaksudkan Bung Karno sebagai “sebuah Negara
Nasional” (Nationale Staat), sebelum NKRI sekarang, yaitu Sriwijaya
dan Majapahit. Bukti-bukti itu tidak hanya tercatat dalam Kaka-win
Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1365), dan sejumlah manuskrip
Nusantara kuna lainnya, tetapi juga karya-karya pujangga manca negara yang
sezaman, bahkan ketika di Indonesia sendiri masih disebut “pra-sejarah”.
Maksudnya, sudah ada catatan-catatan manca negara yang merujuk eksistensi
bangsa Indonesia, ketika bangsa Indonesia sendiri tidak atau belum mencatat
sejarahnya.
Salah satunya yang dapat disebut di sini adalah Śrīmad
Vālmīki-Rāmāyana, karya pujangga Vālmīki (kira-kira tahun 150 M), sudah
menyebut eksistensi Kerajaan Nusantara sebagai berikut:
Yatnavanto Javadvipam saptarajyopasobhitam
Suvarnarupyakadvipwan, Suvarnakaramanditam
Javadvipamatikramya Sisiro namaparvatah
Divam sprasati srgena devadanavasevitah
Etesam giridurgesa prapatesa vanesa cha.
Artinya:
“Jelajahilah Tanah Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan sebagai
hiasan
Nusa Emas dan Perak, dan sebuah pulau bertambang emas
Di luar pulau Jawa, ada gunung tinggi menjulang namanya Sisira
Puncaknya tinggi mencium langit, ditunggu Dewa dan dihuni raksasa
Gunung itu puncaknya bersalju……”
Menurut Phalgunadi, kata saptarājya merujuk kepada tujuh pulau
Nusantara, yaitu Javadvipa (Jawa), Suvarnadvipa (Sumatra),
Barhinadvipa (Borneo), Balidvipa (Bali), Angadvipa (Nusa
Tenggara), Shankadvipa (Celebes), dan Papua yang dalam Ramayana hanya
disebut letaknya “di luar pulau Jawa” (Javadvipapamatikramya). Dengan
demikian, penduduk Indonesia bukan hanya meliputi suku-suku yang mendiami
wilayah Barat Nusantara yang dikenal sebagai rumpun Polenisia, tetapi
juga suku-suku Papua yang dikenal dengan rumpun Melanesia. Nah,
keanekaragaman penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara selama berabad-abad
dengan segala kompleksitas budaya, bahasa dan adat istiadatnya, meskipun dalam
konteks narasi yang dikutip di awal tulisan ini tidak dibahasnya langsung,
namun secara substansial juga menjadi perhatian para pujangga Nusantara.
b.
Implementasi
dalam relasi negara dan agama
Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Pancasila diajukan Bung
Karno sebagai Philosopie Gronslag (Dasar Falsafah) Negara Indonesia
dalam pidatonya yang berjudul Lahirnya Pancasila, di depan sidang Dokoritsu
Zonbie Tjosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjawab dan menemukan solusi dari
para peserta sidang yang terbelah menjadi dua pilihan, yaitu pilihan Negara
Islam, dan pilihan Negara Sekular. Pancasila muncul sebagai “jalan tengah“
diantara dua kutub ekstrim antara paham negara agama (Theocracy) dan
paham negara sekuler (Secularism). Pada satu pihak dengan penegasan
sila “Ketuhanan Yang Maha Esa“, maka tidak mungkin kita mendepak nilai-nilai
agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan berbangsa dan
ber-negara, karena hal itu bertentangan dengan degub jantung kehidupan rakyat
Indonesia yang sangat religius. Di pihak lain, dengan mengangkat dasar
“Ketuhanan yang Maha Esa“ (bukan agama tertentu) juga berarti pengakuan
terhadap semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Jadi, bukan bukan Ketuhanan
menurut salah satu agama saja, melainkan Ketuhanan menurut agama masing-masing,
sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno:
Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhannya menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam menurut
petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut
kitab-kitab suci yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan.
Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah
Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme agama“. Dan hendaknya Negara Indonesia
satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,
maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu?
Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi
bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati
agama-agama lain.
Dalam kerangka berpikir seperti itulah Bung Karno menyebut bahwa
Indonesia yang hendak didirikan adalah sebuah Nationale Staat (Negara
Nasional). Dan dalam mengelola kema-jemukan masyarakat Indonesia, maka model
yang hendak dipilih oleh Bung Karno adalah Sriwijaya dan Majapahit, bukan
negara-negara agama seperti Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore dan
lain-lain. Selanjutnya, semboyan yang dicantumkan dalam lambang negara adalah
“Bhinneka Tunggal Ika“ (Berbeda-beda tetapi Satu), suatu ungkapan yang berasal
dari Mpu Tantular, di puncak kejayaan Majapahit, dengan tepat mengungkapkan
problem kemajemukan Indonesia yang harus dijadikan asas dalam pembangunan
hukum. Rujukan kepada negara nasional Majapahit bagi para pendiri bangsa
Indonesia, ternyata secara historis mempunyai dasar filosofis yang sangat
mendalam.
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa jauh sebelum Pasal 29 ayat (1) UUD
1945 menegaskan bahwa ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang
menekankan pengakuan negara atas Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima,
tanpa terikat oleh definisi menurut salah satu agama, kesadaran ini sudah
muncul pada negara nasional Majapahit. Berkaitan dengan seloka “Bhinneka
Tunggal Ika“, S. Supomo dalam penelitiannya yang berjudul Arjuna-wijaya: A
Kakawin of Mpu Tantular, mengatakan bahwa pada zaman Majapahit konsep
“Ketu-hanan Yang Maha Esa” disebut dengan Sang Hyang Parawataraja, yang
mengatasi konsep-konsep ketuhanan menurut agama-agama yang pada waktu itu.
Dalam konsep “The National Godhead” dinyatakan bahwa Negara
berdasarkan atas kesadaran adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tidak identik
dengan salah satu agama:
“He was both the Supreme God and the great ruler of realm, he was
neither Siwa nor Buddha, but in Prapanca words: Siwa-Buddha (Nag. 1,1), the protector
of the absolute (natha ning anatha), the ruler of the world ruler (pati
ning jagad pati), and the God of tutelary deities (Hyang ning hyang inisthi).
As such he symbolized the unity of the kingdom and the oneness of the dharma”.
(Terjemahan bebas: “Dia adalah Tuhan Yang Maha Tinggi, sekaligus Penguasa
alam semesta, bukan Tuhan menurut konsep agama Siwa maupun konsep agama Buddha,
tetapi seperti istilah Mpu Prapanca Siwa-Buddha – yang menampung baik Hindu
maupun Buddha – Dialah Pelindung Yang mutlak (natha ing anatha),
Penguasa segala penguasa dunia (pati ning jagad pati), dan Tuhan di
atas segala konsep ketuhanan dalam paham agama-agama (Hyang ning hyang
inisthi). Istilah ini merupakan simbol dari kesatuan kerajaan dan
sekaligus kesatuan transendental yang diajarkan agama).
Bertitik tolak dari konsep Nationale Staat (Negara
Nasional) yang tidak didasarkan atas agama tertentu, Mr. Muhammad Yamin
membuktikan bahwa pada waktu itu sudah dikenal jabatan tinggi yang disebut dharmadyaksa
yang mengurusi agama Hindu (Dharmadyaksa ring Kasyaiwan) dan
agama Buddha (Dharmadyaksa ring Kasogatan). Sedangkan sebuah kelompok
tersendiri yang disebut Karesyan – barangkali sejajar dengan penghayat
Kepercayaan pada zaman sekarang – berada di bawah seorang pejabat yang bernama Mentri
Herhaji. Ketiga kelompok agama dan keyakinan tersebut dalam
Kakawin Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1361) disebut Tripaksa,
dan langsung di bawah kekuasaan Raja: “Aramba Nareçware pageha sang
Tripakse Jawa” (Artinya: “yang meneguhkan hak dan kewajiban tripaksa
di wilayah pulau Jawa dalam perlindungan kekuasaan Raja” − Kakawin
Negarakrtagama LXXX,1). Hak-hak kebe-basan beragama, beribadah dan
mengekspresikan keyakinan dari ketiga kelompok agama dan kepercayaan tersebut
dijamin oleh negara, tanpa ada diskriminasi satu kelompok dengan kelompok
lainnya.
Dalam konteks pemikiran seperti yang dikutip di atas, ungkapan “Bhinneka
Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi satu) dikemukakan pertama kali oleh Mpu
Tantular yang juga berasal dari zaman yang sama yang dijadikan sesanti negara
dalam mengelola warisan kultural kemajemukan agama-agama pada zamannya, yang
kemudian diangkat kembali oleh para pendiri bangsa Indo-nesia untuk menjawab
problem kemajemukan bangsa Indonesia modern yang tentunya jauh lebih kompleks.
Sebagaimana sudah disinggung sepintas di depan, bahwa dalam sidang-sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan
menjelang kemerdekaan Indonesia, masalah penting yang hendak dipecahkan adalah
dasar negara yang akan menjadi landasan Indonesia Merdeka. Pada waktu itu ada
dua kelompok, yaitu kelompok yang menghendaki Negara Islam, dan yang lain
menghendaki negara yang netral agama. Selain pemi-kiran Bung Karno yang
disampaikan dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Hatta meng-hendaki Negara
Sekuler yang memisahkan agama dan negara (Scheiding van Kerk en Staat),
sedangkan Soepomo seperti Bung Karno menghendaki pemisahan agama dan negara,
tetapi tidak berarti bahwa negara bersifat “a-religious”. Sebaliknya,
agama-agama harus menjadi landasan etik, moral dan spiritual untuk membangun
bangsa dan negara menuju kejayaannya, sebagaimana dikatakan oleh Soepomo:
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan
“a-religious”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi
pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang cita-cita moral rakyat yang
luhur. Maka negara yang demikian itu dan hendaknya negara Indonesia juga
memakai dasar moral yang luhur, dasar moral yang juga dianjurkan oleh agama
Islam.
Karena itu Soepomo membedakan antara “Negara Islam” dengan “Negara
berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Meskipun Soepomo menegaskan
bahwa pilihan negara Islam tidak tepat, karena “akan timbul soal-soal minderheden,
soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain”,
namun dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, tepat-nya tanggal 19 Agustus
1945, ketika membentuk kabinet, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (Dokuritsu Zonbai Inkai) Soepomo menghendaki agar melalui
Kemen-trian Kehakiman negara tidak hanya mengatur soal peradilan, soal penjara,
tetapi juga turut mengatur masalah nikah, talak, rujuk, infaq dan zakat
yang terkait dengan masalah-masalah keagamaan, khususnya agama Islam. Gagasan inilah
yang di kemudian hari ditampung dengan pembentukan Departemen Agama. Dan karena
Indonesia bukan negara Islam, maka departemen mengatur dalam batas-batas
tertentu urusan yang berkaitan dengan agama-agama yang ada di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah Bhinneka
Tunggal Ika berawal dari kitab Sutasoma karya Mpu Tuntular, yang artinya
berbeda-beda namun satu jua. Berhasilnya pemimpin bangsa kita untuk menggali kitab tersebut dan
menetapkan sebagai semboyan di dalam bagian lambang negara adalah karya besar
yang tak ternilai. Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam 1979,
disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno,
setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul
Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11
Pebruari 1950.
Bhinneka Tunggal Ika berasal
dari bahasa Jawa Kuno dan
seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kata bhinneka
berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata “nek”a dalam bahasa Sanskerta berarti
"macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa
Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu".
Fungsi Bhinneka Tunggal Ika ada lima, yaitu : 1)
mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, dan
agama ; 2) menghambat semua
konflik yang didasari atas kepentingan pribadi atau kelompok ; 3)
mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia ; 4) mewujudkan cita-cita luhur
bersama ; 5) mewujudkan masyarakat madani ; 6) mewujudkan perdamaian Indonesia.
Prinsip-prinsip
Bhinneka Tunggal Ika yaitu tidak bersifat sektarian dan eksklusif, bersifat konvergen tidak divergen, dan tidak bersifat formalistis.
Berdasarkan
Prinsip-prinsipnya, Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegera, yaitu : 1) perilaku inklusif ; 2) mengakomodasi sifat
pluralistic ; 3) tidak
mencari menangnya sendiri ; 4) usyawarah
untuk mencapai mufakat ; 5) dilandasi
rasa kasih sayang dan rela berkorban. Selain itu iplementasi yang lain, yaitu Implementasi dalam relasi antar
suku bangsa dan Implementasi dalam relasi negara dan agama.
B. SARAN
Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat
mengetahui bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika sangat penting bagi kehidupan
kita dan agar pembaca dapat melaksanakan atau bisa menerapkan nilai-nilainya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain dari pada itu, penulis memohon maaf apabila
terdapat kesalahan karena penulis masih dalam proses pembelajaran. Dan yang diharapkan
dengan adanya makalah ini,dapat menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca
dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel non personal, 10
Februari 2013., Bhinneka Tunggal IKa, Wikipedia Bahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika, diakses 18 Februari
2013
M.S,
Kaelan.2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta
: Pardigma