Laman

Senin, 15 September 2014

MAKALAH PANCASILA (SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA)

SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila
Yang dibina oleh Drs. H. Jojo Juhaeni, MM












OLEH :
TAUFIQ ANSHARI RASAK
NPP. 23.1549
KELAS G.15
POLITIK PEMERINTAHAN

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
T.A 2012/2013



KATA PENGANTAR
            Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
            Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi-materi yang sudah ada. Materi-materi bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dalam memahami konsep tentang Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, dengan mempelajari makalah ini, pembaca juga dapat meningkatkan perannya sebagai warga negara yang baik dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik kedepannya.
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan,akan tetapi dengan bantuan dari beberapa pihak, tantangan itu dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesemprnaan makalah ini.
            Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
                                                                                                           
                                                                                    Jatinangor, 17 Februari 2013


                                                                                                Penulis






DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................      1
KATA PENGANTAR............................................................................       2
DAFTAR ISI...........................................................................................       3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................      4
            Latar Belakang............................................................................        4
            Rumusan Masalah......................................................................         4
            Tujuan........................................................................................         5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................       5
            Sejarah Terbentuknya Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.......            5
            Pengertian Bhinneka Tunggal Ika.............................................          8
            Fungsi Bhinneka Tunggal Ika...................................................          9
            Prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika...........           11       
            Implementasi Bhinneka Tunggal Ika.........................................         13
BAB III PENUTUP...............................................................................        23
            Kesimpulan................................................................................         23
            Saran...........................................................................................        24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................        25
           
           
           
                       


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
           
            Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang         sejak dulu, mulai zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, sampai datangnya bangsa-bangsa lain untuk menguasai bangsa Indonesia. Beratus-ratus tahun Indonesia berjuang untuk mencari jati dirinya sebagai suatu bangsa yang merdeka dan mandiri.
            Setelah melalui proses yang sangat panjang untuk mencari jati dirinya, bangsa Indonesia yang didalamnya tersimpul ciri khas, sifat, dan karakter bangsa, yang berbeda dengan bangsa lain, yang oleh para pendiri bangsanya merumuskan dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila) yang kemudian disepakati bersama diberi nama Pancasila.
            Dalam hidup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia sebagai bangsa harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat Internasional. Dengan kata lain, bangsa Indonesia harus memilki rasa nasionalisme kebangsaan yang kokoh, demi tercapainya ketahanan negara dari pihak luar. Selain hal tersebut, bangsa Indonesia harus tetap mewaspadai ketahanan negeranya dari pihak dalam, agar tidak terpecah-belah dalam menjaga jati dirinya sebagai suatu bangsa yang memiliki aset berharga dalam keberagaman budaya, dalam kata lain harus menciptakan dan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan yang utuh.

B.     RUMUSAN MASALAH
           
1.      Sejarah terbentuknya semboyan Bhinneka Tunggal Ika
2.      Pengertian Bhinneka Tunggal Ika
3.      Fungsi Bhinneka Tunggal Ika
4.      Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
5.      Implementasi Bhinneka Tunggal Ika




C.     TUJUAN

            Dengan membaca makalah ini, penulis dan pembaca pada khususnya dapat memahami, mengkhayati, dan mengamalkan makna-makna, kedudukan dan fungsi dari Somboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Saling hormat-menghormati warga Indonesia tanpa membeda-bedakan agama, suku, dan budaya agar tercipta persatuan bangsa Indonesia. Perilaku kita pun akan terarah sesuai norma-norma dan tertib hukum yang terkandung  pada nilai-nilai Pancasila.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    SEJARAH TERBENTUKNYA SEMBOYAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja Râjasanagara. Ia masih saudara sang raja yaitu keponakannya (bhrâtrâtmaja dalam bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.
Nama “Tantular” terdiri dari dua kata : tan (“tidak”) dan tular (“tular” atau “terpengaruhi”). Artinya ia orangnya ialah “teguh”. Sedangkan kata mpu merupakan gelar dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.
Tantular adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil menjadi motto atau semboyan Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika” atau berbeda-beda namun satu jua


Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Bhineka Tunggal Ika dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Kertanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra.
Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).
Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.
Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.
Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusaantara raya.
Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia.
Frase Bhinneka Tunggal Ika telah sama-sama diakui dan dirasakan mempunyai "kekuatan" untuk menyatukan, mengutuhkan dan meneguhkan bangsa Indonesia yang majemuk atau disebut sebagai salah satu sarana pengintegrasi bangsa Indonesia atau sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
Berhasilnya pemimpin bangsa kita untuk menggali dan menetapkan sebagai semboyan di dalam bagian lambang negara adalah karya besar yang tak ternilai, tetapi ada pertanyaan yang perlu diajukan, siapakah yang menempatkan semboyan tersebut pada bagian lambang negara dan apa latar belakang pemikirannya?
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979, disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.
Istilah "ciptaan Bung Karno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di atas menurut hemat penulis kurang tepat, karena dengan pernyataan itu memberikan pengertian, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno. Pernyataan ini juga akan bertentangan dengan pidato Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina ika tunggal ika – berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan isi pidato Presiden Soekarno di atas, semboyan itu adalah buatan Empu Tantular. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa latin: e pluribus unum.
B.     PENGERTIAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangasa Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata “nek”a dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu".
Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan
C.     FUNGSI BHINNEKA TUNGGAL IKA
Semboyan Bhinneka tunggal ika mempunyai fungsi yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, fungsi-fungsinya yaitu :
1.      Mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras dan agama.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan penduduk terbanyak keempat saat ini. Dengan wilayah yang sangat luas dan penduduk yang banyak, keberagaman penduduk sudah dapat dipastikan ada sejak sebelum masa kolonial hingga sekarang. Lebih dari 13 000 pulau yang dimiliki Indonesia, dan semua pulau tersebut mempunyai keberagaman dan ciri khas masing-masing yang membuat Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman budaya dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia yang bersifat plural, tak hanya dari segi budaya, tetapi Indonesia juga memiliki berbagai variasi ras, suku, bahasa, dan agama yang tersebar di seluruh pelosok Bumi Pertiwi.
Dari keberagaman hal yang dimilki Indonesia, diperlukan suatu fungsi yang sangat penting dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mempersatukan bangsa indonesia yang terdiri atas beragam suku, ras, dan agama.
2.      Menghambat semua konflik yang didasari atas kepentingan pribadi atau kelompok
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu atau kelompok dalam suatu interaksi.perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Bangsa indonesia merupakan suatu bangsa yang besar, yang di dalamnya terdiri atas kelompok atau golongan, kelompok-kelompok ini mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Kadang kala dalam suatu perbedaan antar kelompok dapat menimbulkan konflik. Konflik inilah yang akan menyebabkan terpecahnya kesatuan dari bangsa Indonesia, sehingga apabila hal ini terjadi, diperlukan peran yang sangat penting dari pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, apabila terjadi suatu perbedaan pendapat yang dapat menimbulkan terpecahnya konflik antar golongan.
3.      Mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia
Di masa sekarang yaitu masa reformasi, banyak tekanan dan pengaruh dari pihak luar maupun dalam yang dapat mengganggu kesatuan bangsa Indonesia. Agar kesatuannya tidak dapat terganggu, bangsa Indonesia harus meningkatkan peran dan fungsi dari pancasila sebagai alat pemersatu bangsa agar tidak terjadi suatu perpecahan dalam bangsanya.
4.      Membantu mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia
Dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan dengan gamblang tentang cita-cita luhur dibentuknya negara Republik Indonesia yang berdaulat. Cita-cita luhur yang diamanatkan oleh UUD 1945 ada empat poin, di antaranya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 merupakan penuangan jiwa proklamasi yaitu jiwa Pancasila, sehingga Pancasila merupakan cita-cita dan tujuan bangsa indonesia. Cita-cita luhur inilah yang akan disapai oleh Bangsa Indonesia.
5.      Mewujudkan Masyarakat madani
Bhinneka Tunggal Ika membantu mewujudkan bangsa Indonesia menuju terciptanya masyarakat madani.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi norma, nilai-nilai, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan teknologi yang beradab, iman dan ilmu.
6.      Mewujudkan Perdamaian Indonesia
Bhinneka tunggal ika mempunyai fungsi sebagai frasa pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari keberagaman penduduk, sehingga apabila peran itu berfunsi secara baik, maka akan tercipta suatu kedamaian hidup berbangsa dan bernegara oleh penduduk Indonesia.
D.    PRINSIP-PRINSIP YANG TERKANDUNG DALAM BHINNEKA TUNGGAL IKA
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

    Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
    Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif, hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.



    Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.

    Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu,  dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai: (1) inklusif, tidak bersifat eksklusif, (2) terbuka, (3) ko-eksistensi damai dan kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak merasa yang paling benar, (6) tolerans, (7) musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda. Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah , menggambarkan sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
E.     IMPLEMENTASI BHINNEKA TUNGGAL IKA
Berdasarkan prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika di atas, maka prinsip-prinsip tersebut perlu untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

   1.       Perilaku inklusif.

Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.       Mengakomodasi sifat pluralistic

Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.


3.       Tidak mencari menangnya sendiri

Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.

4.             Musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
5.                         Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.

Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
Selain dari lima implementasi di atas yang telah dikaitkan dengan prinsip-prinsip Bhinneka tunggal Ika, terdapat juga beberapa implementasi yang lain, seperti :
a.              Implementasi dalam relasi antar suku bangsa
Dalam risalah sidang kedua Dokuritu Zyunbbi Tyosakai (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan), yang berlangsung 10-17 Juni 1945, muncul juga tema menarik yaitu soal wilayah Indonesia.  Dalam kaitannya dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika” dan masalah etnisitas atau kemajemukan suku-suku bangsa, Bung Hatta mempertanyakan apakah Papua termasuk wilayah Indonesia. Karena secara etnologis, Papua termasuk rumpun Melanesia, berbeda dengan rumpun penduduk Indonesia lainnya yang termasuk rumpun Polenisia. Menurut Hatta, yang lebih rasional dan sesuai dengan hukum internasional, yang menjadi wilayah Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Diingatkan Hatta, jangan sampai dengan konsep “tumpah darah” (Jerman: kultur und boden) menjadi nafsu imperlialis seperti Jerman. Tetapi Hatta juga manyadari, bahwa seperti pen-duduk Indonesia di wilayah Barat dan Tengah adalah asimilasi dari orang-orang Melanesia dengan bangsa-bangsa Arab, Cina, India, begitu juga bisa jadi hasil percampuran antara penduduk Melanisia dengan Polenisia lalu menjadi Papua, menjadi dasar dimasukkannya Papua menjadi wilayah Indonesia.
Sebelumnya Yamin menekankan, bahwa wilayah kita jangan hanya menjadi enclaves daripada “seluruh tanah Indonesia atas beberapa kekuasaan imperialisme 350-400 tahun yang belakangan ini”. Menurut Yamin, perkataan “Indonesia” sendiri dibuat dengan pemahaman yang mengatakan Indonesia melingkupi daerah Malaya dan Polinesia. Jadi, dengan sendirinya pada waktu perkataan Indonesia lahir, dimaksudkan tanah Papua masuk ke dalam daerah Indonesia. Menurut paham Geopolitik, pulau Papua adalah lompatan yang paling akhir dari benua Indonesia menuju lautan Pasifik, dan lompatan yang pertama dari lautan pasifik menuju tanah air kita. Apalagi menurut faham Indonesia, sebagian besar pulau Papua adalah masuk hak adat lingkungan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya betul-betul daerah itu masuk bagian daerah Indonesia. Akhirnya Yamin juga menandaskan bahwa wilayah Indonesia adalah “Kepulauan De-lapan”: Sumatra, Melayu, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil,  Maluku, dan Papua (masing-masing dengan kepulauan-kepulauan kecil di sekeliling  Kepulauan Delapan tersebut. Yamin menyebut bahwa sebenarnya itu bukan keinginannya, tetapi sejak beribu-ribu tahun tumpah darah Indonesia itu terbentuk, yang disebutnya “Testamen Gajahmada”.
Menariknya, berbeda dengan Hatta yang masih agak ragu-ragu memasukkan Papua, Bung Karno sepakat 100% dengan Yamin, dan memperkuat argumentasi Yamin bahwa wilayah kita bukan warisan Belanda, sebaliknya  “….bersandar kepada kekuatan sejarah kita dulu, bersandar pada batas sejarah kita yang dulu. Bukalah, tuan-tuan. Negarakertagama yang ditulis Prapanca, maka tuan-tuan akan membaca di dalamnya beberapa nama tempat dan daerah yang menun-jukkan, bahwa kerajaan Majapahit pun daerahnya melebar sampai kepada Papua”. Bung Karno percaya, kalau kita melihat peta dunia maka kita akan melihat bahwa Tuhan Allah SWT telah menentukan beberapa daerah sebagai suatu kesatuan. Allah telah menentukan kepulauan Inggris sebagai satu kesatuan, atau menentukan kepulauan Hellenia (Yunani) sebagai satu kesatuan, demikian juga Allah telah menentukan wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, pentingnya faktor wilayah ini ditekankan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, untuk melengkapi definisi Ernest Renan dan Otto Bauer. Renan mensyaratkan bangsa hanyalah “kehendak akan bersatu” (le desir d’etre ensemble), sedangkan Bauer mendefinisikan: “Bangsa adalah satu perasaan perangai yang timbul karena persatuan nasib” (Eine nations ist aus Schiksals gemenischafft erwachsene charakter gemenischaft).“Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”, demikian tegas Bung Karno.
Apa yang diwacanakan oleh para “Founding Fathers” di atas bukan sekedar apologetika atau bentuk pembelaan diri mengenai hak bangsa Indonesia untuk menempati tumpah darah Indonesia, tetapi sadar atau tidak juga merupakan bagian dari upaya pencarian mereka atas rujukan historis bagaimana kita harus memaknai warisan kemajemukan kita, khususnya dalam hal suku-suku bangsa. Tetapi para pendiri bangsa itu tidak berlebihan. Indonesia ternyata tidak hanya mempunyai bukti-bukti prasasti dan bergudang manuskrip kuno yang membuktikan bahwa sebelum mereka hendak mendirikan NKRI, rakyat yang mendiami ratusan pulau besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke itu, memang pernah disatukan dalam satu wadah Negara. Itulah yang dimaksudkan Bung Karno sebagai “sebuah Negara Nasional” (Nationale Staat), sebelum NKRI sekarang, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Bukti-bukti itu tidak hanya tercatat dalam Kaka-win Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1365), dan sejumlah manuskrip Nusantara kuna lainnya, tetapi juga karya-karya pujangga manca negara yang sezaman, bahkan ketika di Indonesia sendiri masih disebut “pra-sejarah”. Maksudnya, sudah ada catatan-catatan manca negara yang merujuk eksistensi bangsa Indonesia, ketika bangsa Indonesia sendiri tidak atau belum mencatat sejarahnya.
Salah satunya yang dapat disebut di sini adalah Śrīmad Vālmīki-Rāmāyana, karya pujangga Vālmīki (kira-kira tahun 150 M), sudah menyebut eksistensi Kerajaan Nusantara sebagai berikut:
Yatnavanto Javadvipam  saptarajyopasobhitam
Suvarnarupyakadvipwan, Suvarnakaramanditam
Javadvipamatikramya  Sisiro namaparvatah
Divam sprasati srgena devadanavasevitah
Etesam giridurgesa prapatesa vanesa cha.
Artinya:
Jelajahilah Tanah Jawa, dan tujuh wilayah kerajaan sebagai hiasan
Nusa Emas dan Perak, dan  sebuah pulau bertambang emas
Di luar pulau Jawa,  ada gunung tinggi menjulang namanya Sisira
Puncaknya tinggi mencium langit, ditunggu Dewa dan dihuni raksasa
Gunung itu puncaknya bersalju……”
Menurut Phalgunadi, kata saptarājya merujuk kepada tujuh pulau Nusantara, yaitu Javadvipa (Jawa), Suvarnadvipa (Sumatra), Barhinadvipa (Borneo), Balidvipa (Bali), Angadvipa (Nusa Tenggara), Shankadvipa (Celebes), dan Papua yang dalam Ramayana hanya disebut letaknya “di luar pulau Jawa” (Javadvipapamatikramya). Dengan demikian, penduduk Indonesia bukan hanya meliputi suku-suku yang mendiami wilayah Barat Nusantara yang dikenal  sebagai rumpun Polenisia, tetapi juga  suku-suku Papua yang dikenal dengan rumpun Melanesia. Nah, keanekaragaman penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara selama berabad-abad dengan segala kompleksitas budaya, bahasa dan adat istiadatnya, meskipun dalam konteks narasi yang dikutip di awal tulisan ini tidak dibahasnya langsung, namun secara substansial juga menjadi perhatian para pujangga Nusantara.
b.             Implementasi dalam relasi negara dan agama
Dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Pancasila diajukan Bung Karno sebagai Philosopie Gronslag (Dasar Falsafah) Negara Indonesia dalam pidatonya yang berjudul Lahirnya Pancasila, di depan sidang Dokoritsu Zonbie Tjosakai  (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjawab dan menemukan solusi dari para peserta sidang yang terbelah menjadi dua pilihan, yaitu pilihan Negara Islam, dan pilihan Negara Sekular. Pancasila muncul sebagai “jalan tengah“ diantara dua kutub ekstrim antara paham negara agama (Theocracy) dan paham negara sekuler (Secularism). Pada satu pihak dengan penegasan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa“, maka tidak mungkin kita mendepak nilai-nilai agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan berbangsa dan ber-negara, karena hal itu bertentangan dengan degub jantung kehidupan rakyat Indonesia yang sangat religius. Di pihak lain, dengan mengangkat dasar “Ketuhanan yang Maha Esa“ (bukan agama tertentu) juga berarti  pengakuan terhadap semua agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Jadi, bukan bukan Ketuhanan menurut salah satu agama saja, melainkan Ketuhanan menurut agama masing-masing, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno:
Prinsip Ketuhanan. Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhannya menurut petunjuk Isa Al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab suci yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada „egoisme agama“. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.
Dalam kerangka berpikir seperti itulah Bung Karno menyebut bahwa Indonesia yang hendak didirikan adalah sebuah Nationale Staat (Negara Nasional). Dan dalam mengelola kema-jemukan masyarakat Indonesia, maka model yang hendak dipilih oleh Bung Karno adalah Sriwijaya dan Majapahit, bukan negara-negara agama seperti Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore dan lain-lain. Selanjutnya, semboyan yang dicantumkan dalam lambang negara adalah “Bhinneka Tunggal Ika“ (Berbeda-beda tetapi Satu), suatu ungkapan yang berasal dari Mpu Tantular, di puncak kejayaan Majapahit, dengan tepat mengungkapkan problem kemajemukan Indonesia yang harus dijadikan asas dalam pembangunan hukum. Rujukan kepada negara nasional Majapahit bagi para pendiri bangsa Indonesia, ternyata secara historis mempunyai dasar filosofis yang sangat mendalam.
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa jauh sebelum Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menekankan pengakuan negara atas Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima, tanpa terikat oleh definisi menurut salah satu agama, kesadaran ini sudah muncul pada negara nasional Majapahit. Berkaitan dengan seloka “Bhinneka Tunggal Ika“, S. Supomo dalam penelitiannya yang berjudul Arjuna-wijaya: A Kakawin of Mpu Tantular, mengatakan bahwa pada zaman Majapahit konsep “Ketu-hanan Yang Maha Esa” disebut dengan Sang Hyang Parawataraja, yang mengatasi konsep-konsep ketuhanan menurut agama-agama yang pada waktu itu. Dalam konsep “The National Godhead” dinyatakan bahwa Negara berdasarkan atas kesadaran adanya Tuhan yang Maha Esa, tetapi tidak identik dengan salah satu agama:
He was both the Supreme God and the great ruler of realm, he was neither Siwa nor Buddha, but in Prapanca words: Siwa-Buddha (Nag. 1,1), the protector of the absolute (natha ning anatha), the ruler of the world ruler  (pati ning jagad pati), and the God of tutelary deities (Hyang ning hyang inisthi). As such he symbolized the unity of the kingdom and the oneness of the dharma”.
(Terjemahan bebas: “Dia adalah Tuhan Yang Maha Tinggi, sekaligus Penguasa alam semesta, bukan Tuhan menurut konsep agama Siwa maupun konsep agama Buddha, tetapi seperti istilah Mpu Prapanca Siwa-Buddha – yang menampung baik Hindu maupun Buddha – Dialah Pelindung Yang mutlak (natha ing anatha), Penguasa segala penguasa dunia (pati ning jagad pati), dan Tuhan di atas segala konsep ketuhanan dalam paham agama-agama (Hyang ning hyang inisthi). Istilah ini merupakan simbol dari kesatuan kerajaan dan sekaligus kesatuan transendental yang diajarkan agama).
Bertitik tolak dari konsep Nationale Staat  (Negara Nasional) yang tidak didasarkan atas agama tertentu, Mr. Muhammad  Yamin membuktikan bahwa pada waktu itu sudah dikenal jabatan tinggi yang disebut dharmadyaksa yang mengurusi agama Hindu (Dharmadyaksa ring Kasyaiwan) dan agama Buddha (Dharmadyaksa ring Kasogatan). Sedangkan sebuah kelompok tersendiri yang disebut Karesyan – barangkali sejajar dengan penghayat Kepercayaan pada zaman sekarang – berada di bawah seorang pejabat yang bernama Mentri  Herhaji.  Ketiga kelompok agama dan keyakinan tersebut dalam Kakawin Negarakrtagama, karya Mpu Prapanca (1361) disebut Tripaksa, dan langsung di bawah kekuasaan Raja: “Aramba Nareçware pageha sang Tripakse Jawa” (Artinya: “yang meneguhkan hak dan kewajiban tripaksa di wilayah pulau Jawa dalam perlindungan kekuasaan Raja” − Kakawin Negarakrtagama LXXX,1). Hak-hak kebe-basan beragama, beribadah dan mengekspresikan keyakinan dari ketiga kelompok agama dan kepercayaan tersebut dijamin oleh negara, tanpa ada diskriminasi satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Dalam konteks pemikiran seperti yang dikutip di atas, ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi satu) dikemukakan pertama kali oleh Mpu Tantular yang juga berasal dari zaman yang sama yang dijadikan sesanti negara dalam mengelola warisan kultural kemajemukan agama-agama pada zamannya, yang kemudian diangkat kembali oleh para pendiri bangsa Indo-nesia untuk menjawab problem kemajemukan bangsa Indonesia modern yang tentunya jauh lebih kompleks. Sebagaimana sudah disinggung sepintas di depan, bahwa dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beberapa bulan menjelang kemerdekaan Indonesia, masalah penting yang hendak dipecahkan adalah dasar negara yang akan menjadi landasan Indonesia Merdeka. Pada waktu itu ada dua kelompok, yaitu kelompok  yang menghendaki Negara Islam, dan yang lain menghendaki negara yang netral agama. Selain pemi-kiran Bung Karno yang disampaikan dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Hatta meng-hendaki Negara Sekuler yang memisahkan agama dan negara (Scheiding van Kerk en Staat), sedangkan Soepomo seperti Bung Karno menghendaki pemisahan agama dan negara, tetapi tidak berarti bahwa negara bersifat “a-religious”. Sebaliknya, agama-agama harus menjadi landasan etik, moral dan spiritual untuk membangun bangsa dan negara menuju kejayaannya, sebagaimana dikatakan oleh Soepomo:
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu akan “a-religious”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu dan hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, dasar moral yang juga dianjurkan oleh agama Islam.
Karena itu Soepomo membedakan antara “Negara Islam” dengan “Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Meskipun Soepomo menegaskan bahwa pilihan negara Islam tidak tepat, karena “akan timbul soal-soal minderheden, soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain”, namun dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, tepat-nya tanggal 19 Agustus 1945, ketika membentuk kabinet, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zonbai Inkai) Soepomo menghendaki agar melalui Kemen-trian Kehakiman negara tidak hanya mengatur soal peradilan, soal penjara, tetapi juga turut mengatur masalah nikah, talak, rujuk, infaq dan zakat yang terkait dengan masalah-masalah keagamaan, khususnya agama Islam. Gagasan inilah yang di kemudian hari ditampung dengan pembentukan Departemen Agama. Dan karena Indonesia bukan negara Islam, maka departemen mengatur dalam batas-batas tertentu urusan yang berkaitan dengan agama-agama yang ada di Indonesia.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika berawal dari kitab Sutasoma karya Mpu Tuntular, yang artinya berbeda-beda namun satu jua.  Berhasilnya pemimpin bangsa kita untuk menggali kitab tersebut dan menetapkan sebagai semboyan di dalam bagian lambang negara adalah karya besar yang tak ternilai. Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam 1979, disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Pebruari 1950.
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata “nek”a dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu".
Fungsi Bhinneka Tunggal Ika ada lima, yaitu : 1) mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, dan agama ; 2) menghambat semua konflik yang didasari atas kepentingan pribadi atau kelompok ; 3) mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia ; 4) mewujudkan cita-cita luhur bersama ; 5) mewujudkan masyarakat madani ; 6) mewujudkan perdamaian Indonesia.
Prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika yaitu tidak bersifat sektarian dan eksklusif, bersifat konvergen tidak divergen, dan tidak bersifat formalistis.
Berdasarkan Prinsip-prinsipnya, Implementasi Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegera, yaitu : 1) perilaku inklusif ; 2) mengakomodasi sifat pluralistic ; 3) tidak mencari menangnya sendiri ; 4) usyawarah untuk mencapai mufakat ; 5) dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban. Selain itu iplementasi yang lain, yaitu Implementasi dalam relasi antar suku bangsa dan Implementasi dalam relasi negara dan agama.

B.     SARAN
Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat mengetahui bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika sangat penting bagi kehidupan kita dan agar pembaca dapat melaksanakan atau bisa menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain dari pada itu, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan karena penulis masih dalam proses pembelajaran. Dan yang diharapkan dengan adanya makalah ini,dapat menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat.














DAFTAR PUSTAKA
Artikel non personal, 10 Februari 2013., Bhinneka Tunggal IKa, Wikipedia Bahasa Indonesia.  http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika, diakses 18 Februari 2013
M.S, Kaelan.2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Pardigma
Ayril, Amrizal, 28 April 2012, Lunturnya Makna Bhinneka Tunggal Ika,  Amrizalfile, http://amrizalfile.blogspot.com/2012/04/lunturnya-makna-bhineka-tunggal-ika.html, diakses 18 Februari 2013









1 komentar: